ArticlesTapanuli Tengah Layak Jadi Lokasi Wisata Sejarah
Selamat Datang di Barus Fansour, the lost Muslim City found Barousai, Barus, atau Fansur: Kisah Cemerlang dari Beribu Tahun Silam Misteri Kapur Barus Siapa Pemeluk Islam Pertama di Indonesia Tapanuli Tengah Layak Jadi Lokasi Wisata Sejarah
Minggu, 20 Januari 2013 | 15:23 WIB KOMPAS/Wawan H Prabowo Kompleks Makam Mahligai di Desa Dakka, Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Keberadaan makam kuno Islam di kawasan tersebut menjadi salah satu jejak penyebaran agama Islam pertama di Nusantara. MEDAN, KOMPAS.com - Kabupaten Tapanuli Tengah di Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu daerah yang layak menjadi lokasi wisata sejarah. Sebab daerah ini memiliki banyak situs bersejarah yang berusia ratusan tahun. “Banyak sekali, bahkan ribuan,” kata Ketua Pusat Studi Ilmu-ilmu Sosial dan Sejarah (PUSSIS) Universitas Negeri Medan Dr Ikhwan Azhari di Medan, Sabtu (19/1/2013). Menurut Ikhwan, situs yang paling terkenal Kota Barus yang sempat mengalami masa keemasan pada abad X sebagai salah satu pusat perdagangan dunia. Berbagai peninggalan tua di kota tersebut banyak diminati sebagai objek penelitian dan pengkajian bagi pelajar dan ilmuan luar negeri. Demikian juga situs di Lobu Tua yang lokasi tidak terlalu jauh dari Kota Barus yang merupakan kota kuno dan menjadi salah satu pemukiman berbagai etnis di dunia pada abad X. Salah satu bukti adanya etnis dari luar di Lobu Tua adalah penemuan prasasti yang bertuliskan aksara Tamil yang diperkirakan berusia ratusan tahun. “Jejak dari situs-situs itu masih ada. Sebagian disimpan di Yayasan Museum Barus,” katanya. Namun sayangnya, kata dia, berbagai situs warisan dunia tersebut hampir punah seiring pertumbuhan penduduk dan proses pembangunan yang dilakukan masyarakat. Ia mencontohkan pencabutan berbagai nisan tua di Kota Barus dan Loba Tua yang dibongkar untuk dijadikan lokasi perumahan atau berbagai bangunan lainnya. Tanpa mengetahui nilai sejarah dan keilmuan, berbagai nisan tua tersebut hilang tanpa diketahui lokasinya atau dimanfaatkan untuk hal-hal yang jauh dari nilai kesejarahan. Padahal nisan-nisan tersebut mengandung nilai keilmuan dan sejarah yang tinggi, mulai dari jenis batu yang digunakan, bentuk dan ornamen nisan, hingga aksara yang digunakan masyarakat pada masa itu. Pihaknya mengharapkan Pemkab Tapanuli Tengah dapat melestarikan berbagai situs dunia tersebut dan menjadikan sebagai lokasi wisata sejarah. Selain untuk merawat situs tua, pihaknya berkeyakinan jika upaya itu dapat menarik kunjungan wisatawan internasional, terutama kalangan ilmuwan yang ingin mengetahui jejak sejarah dunia. Ikuti Twitter Kompas Travel di @KompasTravel Misteri Pemeluk Islam Pertama di Nusantara
Sejarawan asal Italia, G. E. Gerini di dalam bukunya Futher India and Indo-Malay Archipelago, mencatat bahwa sekitar tahun 606-699M telah banyak masyarakat Arab, yang bermukim di Nusantara. Mereka masuk melalui Barusdan Aceh di Swarnabumi utara. Dari sana menyebar ke seluruh Nusaantara hingga ke China selatan.
Sekitar tahun 625M, sahabat Rasulullah Ibnu Mas’ud bersama kabilah Thoiyk, datang dan bermukim diSumatera. Di dalam catatan Nusantara, Thoiyk disebut sebagai Ta Ce atau Taceh (sekarang Aceh). (Sumber : Akar Melayu, Kerajaan Melayu Islam Terawal di Nusantara, Kesultanan Majapahit, Realitas Sejarah Yang Disembunyikan [Hermanus Sinung Janutama]). Berdasarkan catatan-catatan yang ada, mari kita coba mengungkap misteri, siapa sesungguhnya pemeluk Islam pertama asal Tanah Jawi. 1. Penganut Islam pertama, yang berasal dari Nusantara, kemungkinan adalah Para Leluhur Bangsa Aceh, yang ikut serta menghantar Ibnu Mas’ud ra. bersama kabilahnya. Di dalam buku Arkeologi Budaya Indonesia, karangan Jakob Sumardjo, diperoleh informasi, berdasarkan catatan kekaisaran Cina, diberitakan tentang adanya hubungan diplomatik dengan sebuah kerajaan Islam Ta Shi di Nusantara. Bahasa Cina menyebut muslim sebagai Ta Shi. Ia berasal dari kata Parsi Tajik atau kata arab untuk Kabilah Thayk (Thoiyk). Kabilah Thoiyk ini adalah kabilahnya Ibnu Mas’ud r.a, salah seorang sahabat Nabi, seorang pakar ilmu Alquran (Sumber : Arkeologi Semiotik Sejarah Kebudayaan Nuswantara). 2. Penguasa Nusantara, yang pertama memeluk Islam adalah Raja Sriwijaya yang bernama Sri Indravarman. Pada sekitar awal abad ke 8, orang-orang Persia Muslim mulai berdomisili di Sriwijaya akibat mengungsi dari kerusuhan Kanton. Dalam perkembang selanjutnya, pada sekitar tahun 717 M, diberitakan ada sebanyak 35 kapal perang dari dinasti Umayyah dengan hadir di Sriwijaya, dan semakin mempercepat perkembangan Islam di Sriwijaya (Sumber : Sejarah Umat Islam; Karangan Prof. Dr. HAMKA). Ditenggarai karena pengaruh kehadiran bangsa Persia muslim, dan orang muslim Arab yang banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Srivijaya yang bernama Sri Indravarman masuk Islam pada tahun 718M (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979). Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Buddha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Syiria. Bahkan disalah satu naskah surat adalah ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720M) dengan permintaan agar kholifah sudi mengirimkan da’i ke istana Srivijaya (Sumber : Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nsantara abad XVII & XVIII; Karangan Prof. Dr. Azyumardi Azra MA) (Sumber : Wikipedia : Kerajaan Melayu Kuno dan Hadits Nabi, Negeri Samudra dan Palembang Darussalam). 3. Penduduk pulau Jawa, yang pertama memeluk Islam adalah Pangeran Jay Sima (Suku Jawa) dan Rakeyan Sancang (Suku Sunda). Pangeran Jay Sima… Hubungan komunikasi antara tanah Jawa dan Jazirah Arab, sudah terjalin cukup lama. Bahkan di awal Perkembangan Islam, telah ada utusan-utusan Khalifah, untuk menemui Para Penguasa di Pulau Jawa. Pada tahun 674M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, beliau mengirimkan utusannya Muawiyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa, yakni ke Jepara (pada saat itu namanyaKalingga). Kalingga pada saat itu, di pimpin oleh seorang wanita, yang bernama Ratu Sima. Dan hasil kunjunganduta Islam ini adalah, Pangeran Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Karangan H Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979). ( Sumber : Islam di Indonesia dan Jemaah Haji, Tempo Doeloe) Rakeyan Sancang… Mengenai siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, menurut Pengamat sejarah Deddy Effendie, adalah seorang Pangeran dari Tarumanegara, yang bernama Rakeyan Sancang. Rakeyan Sancang disebutkan hidup pada masa Imam Ali bin Abi Thalib. Rakeyan Sancang diceritakan, turut serta membantu Imam Ali dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) (Sumber : Islam masuk ke Garut sejak abad 1 Hijriah dan Jemaah Haji, Tempo Doeloe). WaLlahu a’lamu bishshawab |
-----------------------------------------------------------------------------
Oleh: Fadmin Prihatin Malau Bagi yang sudah biasa mengunjungi daerah-daerah wisata di nusantara dan mancanegara ketika berkunjung ke Barus Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pasti berdecak kagum. Luar biasa! Begitu yang terucap dan tersimpan di dalam benak. Perasaan itu ada pada beberapa orang rekan-rekan penulis yang datang dari Jakarta beberapa waktu lalu berwisata religius ke kota tua Barus. Tidak mereka bayangkan sebelumnya, ternyata ketika sampai di Barus bukan saja wisata religius yang ada tetapi semua wisata ada. Wisata Sejarah, Wisata Bahari (laut dan pantai), Wisata Kuliner, Wisata Gunung, sungai yang menantang. Semuanya ada, ibarat hotel berbintang lima, fasilitas lengkap tetapi sarana yang belum ada. Fasilitas atau potensi wisata sangat lengkap tetapi tidak terdukung dengan sarana yang ada. Tidak mudah mencapai Kota Tua Barus dari Medan, Ibukota Propinsi Sumatera Utara. Bila naik pesawat terbang sangat terbatas dari Medan ke Sibolga Kabupaten Tapanuli Tengah. Bila naik mobil dari Medan ke Sibolga hampir sepuluh jam perjalanan. Belum lagi dari Sibolga ke Barus sejauh 65 kilometer ditempuh dalam waktu tiga jam perjalanan. Bukan karena macet lalu lintas tetapi karena kondisi jalan yang rusak parah. Sejak zaman orde baru sampai kini tetap rusak. Belum pernah dalam sejarahnya dari Sibolga ke Barus berjarak 65 kilometer itu dapat ditempuh dalam satu jam lebih sedikit. Bayangkan 65 kilometer, kenderaan dengan kecepatan 60 kilometer per jam, pasti dalam satu jam sudah sampai. Bagaimana lama dan membosankannya apa bila jarak 65 kilometer harus ditempuh dalam waktu 3 jam. Mengingat jalan ke Barus saja sudah membosankan, bagaimana ada niat mau berkunjung ke kota tua yang penuh sejarah itu. Bagi masyarakat perantau Kota Tua Barus saja sudah mengeluh, betapa susahnya pulang ke Barus, mengingat sarana jalan yang luar biasa itu. Bagaimana pula dengan yang bukan masyarakat Barus (red:wisatawan) mau berkunjung ke Barus. Pada hal, status jalan ke Barus itu adalah jalan Propinsi Lintas Barat Sumatera. Ada dua jalur jalan propinsi lintas barat ke Barus. Satu jalur dari Medan melalui (via) Sibolga dan dari Sibolga ke Barus. Satu jalur lagi dari Medan melalui (via) Dolok Sanggul (Humbang Hasundutan) ke Barus. Jalur melalui Dolok Sanggul bisa via kota Parapat-Siborong-borong dan melalui Dolok Sanggul via Berastagi-Sidikalang-Tele baru ke Barus. Jalur via Dolok Sanggul ini juga luar biasa sulitnya yakni dari Dolok Sanggul ke Pakkat dan dari Pakkat ke Barus. Jalan dari Dolok Sanggul ke Pakkat dan ke Barus luar biasa rusak dan “medan” yang harus dilalui cukup terjal. Bila tidak hati-hati, silap sedikit mobil bisa jatuh ke jurang, maut mengintai. Sarana Ke Lokasi Wisata Baru cerita menuju Kota Tua Barus saja sudah sulit. Begitu sampai di Barus sudah letih dan melelahkan. Sementara objek wisata cukup banyak, semua objek wisata ada di Barus. Peninggalan sejarah masa lalu Indonesia semua ada di Barus. Menurut sejarah semua bangsa-bangsa datang ke Indonesia umumnya melalui Barus. Agama Islam dibawa para saudagar Arab masuk ke Indonesia melalui Barus. Agama Kristen masuk ke Tano Batak dibawa missionary dari Jerman Dr. IL. Nommensen dari Barus. Bangsa Tamil masuk ke Indonesia juga lewat Barus yakni tahun 1088 dan ada Perkumpulan Dagang Tamil (Indi) di Barus. Bangsa India, Yunani, Syiria, Armenia, China, dan lainnya juga masuk lewat Barus. Dari dahulu Barus sudah terkenal ke mancanegara dan Barus yang terletak di Tepi Pantai Barat Pulau Sumatera (Andalas) memiliki alam yang indah. Sesungguhnya Barus memiliki itu dan berbagai destinasi wisata ada. Pantai yang indah dengan deburan ombak yang ganas. Gunung yang indah dengan berbagai jenis flora dan fauna. Budaya, adat istiadat yang berkembang di Kota Tua Barus, hasil alam yang spesifik potensi wisata kuliner yang menjanjikan. Luar biasa bila semua itu dapat dinikmati dengan tenang dan nyaman. Masalahnya, tidak semua potensi itu dapat dinikmati tenang dan nyaman disebabkan sarana untuk itu yang belum mendukung. Wisata religius misalnya, tidak hanya satu lokasi, tetapi ada sebelas lokasi dengan 44 aulia. Luar biasa! Jelas tidak hanya dapat dijalanani selama sehari. Wisata pantai misalnya, tidak hanya satu lokasi, sedikitnya ada sepuluh lokasi di kota Barus. Luar biasa banyaknya dan untuk mengunjunginya sudah pasti tidak cukup hanya sehari (Berwisata Bahari Tidak Cukup Sehari-red). Begitu juga dengan wisata kuliner dengan beragam citra rasa masakan dengan lokasi yang berbeda-beda. Dari semua ragam dan lokasi wisata yang ada di Barus, untuk sarana dan prasarana ke lokasi dan di lokasi wisata masih sangat memprihatinkan. Mulai dari sarana transportasi, akomodasi dan sarana pendukung lainnya. Masih sangat memprihatinkan. Sarana transportasi misalnya, tidak semua lokasi wisata ada transportasi angkutan umum. Hanya beberapa lokasi wisata saja yang sudah ada sarana transportasi umum, selebihnya belum ada. Begitu juga dengan akomodasi di lokasi wisata termasuk di Barus baru ada hotel kelas melati dan losmen. Bila saja sarana dan prasarana mendukung maka potensi wisata di Barus sangat luar biasa. Alasannya, satu objek wisata, misalnya wisata religius tidak hanya satu lokasi dan otomatis tidak cukup hanya sehari untuk mendatanginya. Wisata pantai, tidak hanya satu lokasi tetapi banyak lokasi, sudah pasti tidak cukup hanya sehari dan begitu dengan lokasi wisata lainnya. Sarana dan prasarana wisata di Barus mutlak ada, minimal standar. Namun, kenyataan yang ada sekarang jangankan standar, di bawah standar juga belum ada sehingga aset nasional berupa peninggalan sejarah, objek wisata yang potensial tidak dapat berkembang. Pemkab Tapanuli Tengah seharusnya lebih peduli, sebab Barus memiliki khas tersendiri yang tidak dimiliki daerah kunjungan wisata lainnya di Indonesia. Posted: February 11, 2010 in Pariwisata Sumut, Sumatera Utara Kutipan email: Saleh W SIREGAR |